Oleh
Edi Suharto, PhD
Dalam konteks negara
modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang semakin
penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung hukum, gaji
dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara
berkembang pada masa lalu.
Sebagai sebuah lembaga,
pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan
pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari
dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi, pelayanan publik berpijak pada
prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti akuntabilitas, efektifitas,
efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.
Menguatnya embusan
globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa peluang sekaligus tantangan
tersendiri bagi pelayanan publik, khususnya pelayanan sosial bagi masyarakat
dengan kebutuhan khusus. Dengan memfokuskan pada kelompok penyandang cacat dan
lanjut usia, makalah ini membahas bagaimana Departemen Sosial menerapkan
kebijakan pelayanan sosial terhadap kelompok yang kurang beruntung ini.
Kebijakan dan pelayanan publik
Kebijakan publik adalah
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau
bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai
keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang
banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat
banyak.
Selanjutnya, kebijakan
publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh
birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah
pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab
dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas
kehidupan orang banyak (Wikipedia, 2008).
Dalam pelaksanaannya,
kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi
masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang
menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa
mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu.
Untuk mewujudkan
keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan
sedikitnya tiga hal:
1. Adanya
perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui
publik apa yang telah diputuskan;
2. Kebijakan
ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan
3. Adanya
kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah
kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak
(Wikipedia, 2008).
Dalam masyarakat otoriter
kebijakan dan pelayanan publik seringkali hanya berdasarkan keinginan penguasa
semata. Sehingga penjabaran tiga hal di atas tidak berjalan. Tetapi dalam
masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap
opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin
politik berkomunikasi dengan masyarakat guna menampung keinginan mereka adalah
penting. Tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi.
Adalah naif untuk
mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat
setiap saat. Namun, adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan
dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang
berjalan maupun yang akan dijalankannya.
Tantangan global
Saat ini tantangan utama
negara-bangsa di seluruh dunia bukan lagi isu perang dingin. Melainkan
meningkatnya kompleksitas kemiskinan, konflik etnis, penguatan demokrasi dengan
segala resikonya, serta globalisasi ekonomi termasuk perubahan peran dan
interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat madani. Selain itu, aspirasi dan
tuntutan masyarakat juga semakin meningkat akibat semakin terbukanya informasi
dan meningkatnya kesadaran hak-hak warga negara.
Perubahan global ini
telah mengubah lingkungan dimana pemerintahan beroperasi, menantang peran
tradisional negara, dan memperkenalkan aktor-aktor baru pada proses pembangunan
dan kepemerintahan (governance).
Transformasi global ini juga menuntut reformulasi peran dan tanggung jawab para
pegawai negeri sebagai pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat
kepercayaan masyarakat.
Eskalasi perubahan global
ini juga telah menimbulkan isu-isu moral seperti penyalahgunaan kekuasaan,
korupsi, crony capitalism, “sweatheart deal” privatization, dan
perilaku pemerintah yang tidak profesional dan etis lainnya (UNDESA, 2000).
Studi-studi menunjukkan
bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik telah melahirkan
dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya pelayanan publik
menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah yang pada
gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada masyarakat.
Secara ekonomi, korupsi
dan rendahnya akuntabilitas institusi publik bukan saja telah mengurangi
anggaran pelayanan bagi rakyat banyak. Melainkan pula telah menghambat
perekonomian. Bukti-bukti empiris di banyak negara memperlihatkan bahwa korupsi
memiliki dampak negatif yang signifikan dan luas terhadap investasi dan
perdagangan.
Sebaliknya, korupsi yang
rendah memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi. Analisis Regresi yang
dilakukan Paul Mauro (1998) menunjukkan bahwa sebuah negara yang mampu
memperbaiki indeks korupsinya, misalnya dari 6 ke 8 (0 adalah indeks korupsi
tertinggi dan 10 terendah) mengalami peningkatan 4 persen dalam tingkat
investasi dan 0,5 persen dalam pertumbuhan GDP tahunannya.
Pergeseran paradigma
Sebagai bagian dari
respon terhadap tantangan global di atas, telah terjadi pergeseran paradigma
dalam pelayanan publik. Tiga pergeseran di bawah ini penting dicatat.
1. Dari problems-based services ke rights-based services. Pelayanan sosial yang
dahulunya diberikan sekadar untuk merespon masalah atau kebutuhan masyarakat,
kini diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi nasional dan konvensi internasional.
2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches.
Pendekatan pelayanan publik cenderung bergeser dari yang semata didasari
peraturan normatif menjadi pendekatan yang berorientasi kepada hasil.
Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi menjadi kata kunci yang semakin
penting.
3. Dari public management ke public governance. Menurut Bovaird dan
Loffler (2003), dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai
klien, pelanggan atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market contract. Sedangkan dalam konsep
kepemerintahan publik, masyarakat dipandang sebagai warga negara yang merupakan
bagian dari social contract.
Namun demikian, ini tidak
b erarti bahwa paradigm baru menafikan sama sekali paradigma lama. Meski
paradigma baru cenderung semakin menguat, diantara keduanya senantiasa ada
persinggungan dan kadang saling mendukung.
Situasi Indonesia
Pelayanan Publik di
Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang mendasar. Selain
efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan
pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum memiliki mekanisme
pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk layanan juga
belum memuaskan para penggunanya.
Selain itu, pelayanan
publik di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat dengan kebutuhan
khusus, termasuk terhadap kelompok rentan, penyandang cacat, lanjut usia dan
komunitas adat terpencil.
Sebagai contoh, nasib
anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat di Indonesia, sangat memprihatinkan
dan jauh tertinggal dibanding di negara Asia lainnya. Nasib mereka masih
terpinggirkan hampir di semua sektor, mulai pendidikan, pekerjaan, hingga
ketersediaan fasilitas publik yang bersahabat (Suara Pembaruan, 23 Juli 2008).
Diakui, memang sudah ada
regulasi tentang penyandang cacat, yakni UU 4/1997 dan diperkuat lagi dengan UU
23/2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya diatur soal anak-anak
penyandang cacat. Namun, dalam kenyataannya instrumen legal ini belum dapat
diimplementasikan secara efektif. Sejumlah aturan yang mengharuskan
keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik oleh masyarakat,
kalangan swasta maupun pemerintah sendiri.
Belum lama ini Departemen
Pendidikan Nasional memangkas anggaran pendidikan untuk anak-anak penyandang
cacat. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran pendidikan bagi anak-anak
penyandang cacat dari Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2007 menjadi Rp 130
miliar untuk anggaran 2008, jelas merupakan langkah diskriminatif.
Sebab, anak luar biasa
membutuhkan pelayanan khusus. Mereka seharusnya mendapat perhatian khusus atau
minimal sama dengan anak biasa (normal) pada umumnya dalam mendapatkan hak
pendidikan. Anak berkebutuhan khusus memiliki keperluan yang berbeda dengan
anak normal. Untuk membeli alat tulis misalnya, anak normal cukup mengeluarkan
sekitar Rp 500-Rp 1.000. Bagi anak tunanetra (buta) pengeluaran untuk alat
tulis huruf Braille bisa mencapai Rp 15.000.
Selain persoalan UU yang
ada belum diimplementasikan sebagaimana mestinya, sehingga hanya menjadi
dokumen belaka, anggota masyarakat juga masih banyak yang menganggap kelompok
rentan dan berkebutuhan khusus sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang
publik. Wujudnya, pandangan sinis hingga sikap yang secara langsung maupun
tidak langsung mengeliminasi orang cacat atau lanjut usia dari kehidupan
sosial.
Peran Depsos
Depsos adalah lembaga
pemerintah yang fungsi utamanya menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial.
Pembangunan kesejahteraan sosial pada intinya merupakan seperangkat kebijakan, program
dan kegiatan pelayanan sosial yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi
sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial guna meningkatkan kualitas
hidup, kemandirian, dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat (Suharto, 2008a).
Sasaran utama pembangunan
kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok lemah dan kurang beruntung yang
dikenal dengan istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau
Pemerlu Pelayanan Sosial (PKS) (Suharto, 2008b). Lima permasalahan sosial yang
menjadi target Depsos mencakup kemiskinan, ketelantaran, kecacatan,
keterasingan, dan ketunaan sosial.
Dalam garis besar,
penerapan kebijakan pelayanan sosial difokuskan pada lima program, yaitu:
1. Program
pengembangan potensi kesejahteraan sosial, seperti organisasi sosial, Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan dunia usaha dalam upaya memperluas jangkauan pelayanan
sosial.
2. Program
peningkatan kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan sosial. Tujuan
utamanya adalah meningkatnya mutu dan profesionalisme pelayanan sosial melalui
pengembangan alternatif-alternatif strategi pekerjaan sosial, standardisasi dan
legislasi pelayanan sosial.
3. Program
pengembangan keserasian kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah
sosial. Tujuan utamanya adalah terwujudnya koordinasi dan jaringan kerja yang
dapat meningkatkan sistem perlindungan dan ketahanan sosial masyarakat sehingga
mereka mampu merespon gelagat dan dampak perubahan sosial di sekitarnya.
4. Program
pengembangan sistem informasi kesejahteraan sosial. Tujuannya adalah mengidentifikasi
data dan informasi kesejahteraan sosial yang diperlukan bagi perumusan
kebijakan sosial, mekanisme peringatan dini, dan koordinasi jaringan
kelembagaan dalam mengendalikan masalah-masalah sosial.
5. Program
peningkatan peran serta masyarakat dan pengarusutamaan jender. Program ini
bertujuan utnuk meningkatkan partisipasi publik dan peran lembaga-lembaga
pemberdayaan perempuan.
Pelayanan sosial bagi penyandang cacat
Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Depsos memperkirakan jumlah penyandang Cacat pada tahun 2006 adalah
sekitar 2,429,708 atau 1,2 persen dari total penduduk (Suharto, 2007). Survey
yang dilakukan Pusdatin Depsos pada tahun 2007 menunjukkan bahwa, populasi
penyandang cacat adalah sekitar 3,11 persen dari total penduduk Indonesia. Jika
jumlah penduduk tercatat 220 juta, maka jumlah penyandang cacat mencapai 7,8
juta jiwa.
Kecacatan adalah
hilangnya atau abnormalitasnya fungsi atau struktur anatomi, psikologi maupun
fisiologi seseorang. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, penyandang cacat diklasifikasikan dalam tiga jenis kecacatan
yaitu cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental yang dikenal
dengan “cacat ganda”.
Kecacatan menyebabkan
seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan
aktivitas fisik, kepercayaan dan haraga diri, hubungan antar manusia maupun
dengan lingkungannya. Permasalahan sosial yang timbul dari kecacatan antara
lain adalah ketidakberfungsian sosial, yakni kurang mampunya penyandang cacat
melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar.
Masalah kecacatan juga
akan semakin berat bila disertai dengan masalah kesejahteraan sosial lainnya
seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan. Kondisi seperti ini
menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana
orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.
Masalah yang masih
dihadapi dalam kaitannya dengan pelayanan sosial bagi penyandang cacat adalah:
- Belum tersedianya data yang akurat
dan terkini tentang karakteristik kehidupan dan penghidupan berbagai jenis
penyandang cacat.
- Belum memadainya jumlah dan
kualitas tenaga spesialis untuk berbagai jenis kecacatan.
- Terbatasnya sarana pelayanan sosial
dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh penyandang
cacat, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang cacat.
- Terbatasnya lapangan kerja bagi
mereka (Depsos, 2003).
Pelayanan sosial bagi penyandang
cacat yang dilakukan Depsos meliputi:
- Pelayanan sosial di rumah (home
care services)
untuk konseling perlakuan dalam situasi rumah, terapi fisik, diagnosis dan
perantara untuk penempatan dalam institusi sekolah, rujukan pelayanan
rehabilitasi sosial, lapangan kerja, pelayanan alat bantu khusus bagi
penyandang cacat dan aktivitas waktu luang.
- Pelayanan rehabilitasi dan
dukungan untuk melaksanakan kehiduppan secara mandiri, meliputi usaha
bimbingan fisik, mental, motorik dan mobilitas, terapi sikap dan perilaku.
- Jaminan perlindungan dan
aksesibilitas terhadap pelayanan publik.
- Bimbingan terapi kerja, praktek
belajar kerja serta pemberian bantuan usaha ekonomis produktif secara
kelompok usaha bersama (KUBE) serta pengembangan budaya kewirausahaan.
- Standardisasi pelayanan sosial.
- Pengembangan sistem rujukan,
advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta bibimbingan resosialisasi
dan penyaluran dengan mendayugunakan mekanisme Unit Pelayanan Sosial
Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK), Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
(RBM) dan Pusat Pelatihan Keterampilan Kerja Penyandang Cacat serta
lembaga pelayanan sosial lainnya.
- Selain itu, untuk meningkatkan
apreasi masyarakat terhadap hak asasi penyandang cacat dilakukan
penyuluhan dan peningkattan sensitivitas masyarakat terhadap kehidupan
penyandang cacat, advokasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga
pendidikan dan latihan (Depsos, 2003).
Pelayanan sosial bagi lanjut usia
Meningkatnya pendapatan
masyarakat, membaiknya status kesehatan dan gizi masyarakat, dan perubahan pola
hidup telah meningkatkan usia harapan hidup dan populasi lanjut usia di
Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur lanjut
usia (ageing structured
population).
Jika pada tahun 1980,
rata-rata penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun “hanya” sekitar 5,45 persen
dari total penduduk. Maka pada tahun 1990 dan 2000, prosentasenya meningkat
menjadi 6,29 persen dan 7,18 persen. Pada tahun 2010 dan 2020, prosentase
lanjut usia diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 9,77 persen dan 11,34
persen dari keseluruhan penduduk Indonesia (Depsos, 2008; Suharto, 2008c).
Tantangan utama yang
dihadapi akibat meningkatnya jumlah lanjut usia, terutama mereka yang tidak
potensial dan terlantar, adalah penyediaan perlindungan sosial baik yang
bersifat formal maupun informal. Penyiapan lapangan kerja yang sesuai dengan
kemampuan fisik lanjut usia merupakan tantangan lain bagi mereka yang masih
potensial.
Isu-isu lain yang terkait
dengan kelanjut usiaan antara lain adalah:
- Belum adanya data lanjut usia yang
akurat.
- Masih terjadinya duplikasi
pelaksanaan program pelayanan sosial.
- Jumlah lembaga pelayanan sosial
lanjut usia tidak sebanding dengan jumlah dan kompleksitas permasalahan
lanjut usia.
- Kurangnya informasi mengenai program
dan pelayanan sosial kepada masyarakat.
- Penyediaan aksesibilitas lanjut
usia pada prasarana dan saranan umum masih sangat terbatas (Depsos, 2008).
Pelayanan sosial bagi
lanjut usia yang dilakukan Depsos meliputi tiga sistem (Depsos, 2008):
1. Pelayanan sosial dalam
panti (institutional-based
services):
- Pelayanan sosial reguler dalam
Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) di 243 panti untuk memenuhi kebutuhan
hidup 11.416 lansia secara layak.
- Pelayanan harian (daycare
services).
Pelayanan sosial yang disediakan bagi lanjut usia yang bersifat sementara,
dilaksanakan pada siang hari pada waktu tertentu.
- Pelayanan subsidi silang.
2. Pelayanan sosial luar
panti (community-based services):
- Home Care. Pelayanan
sosial bagi lanjut usia yang tidak potensial yang berada di lingkungan
keluarganya. Misalnya, pemberian bantuan pangan, bantuan kebersihan,
perawatan kesehatan, pendampingan, reksreasi, konseling dan rujukan. Pada
tahun 2008 tercatat 5.8 12 lanjut usia yang menerima pelayanan ini di 33
provinsi.
- Foster Care. Pelayanan
sosial bagi lanjut usia terlantar melalui keluarga orang lain.
- Jaminan sosial yang berupa
tunjangan uang sebesar Rp. 300.000 per orang per bulan. Pelayanan ini
telah dilakukan sejak tahun 2006 di 6 provinsi terhadap 2.500 lanjut usia.
Pada tahun 2007 diterapkan di 10 provinsi terhadap 3.500 lanjut usia. Pada
tahun 2008, lanjut usia yang menerima pelayanan ini menjadi 10.000 orang
yang tersebar di 15 provinsi.
- Pemberdayaan lanjut usia potensial
melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
Di 33 provinsi, UEP menjangkau 14.218 orang dan KUBE menjangkau 6.320
orang.
- Pelayanan sosial masyarakat yang
dilakukan melalui Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) dan Karang Lansia.
Misalnya, di DKI Jakarta terdapat 115 PUSAKA dan 53 Karang Lansia yang
melayani 5.615 orang.
3. Pelayanan terobosan
(uji coba):
- Uji coba pelayanan harian lanjut
usia di 5 lokasi, yaitu di PSTW Budhi Dharma Bekasi, Karang Wredha
Yudistira Sidoarjo, PSTW Puspa Karma Mataram, Medan dan Kupang.
- Uji coba Trauma Center Lanjut Usia
di 5 lokasi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, NTB, dan Makassar.
- Uji coba Home Care di 6 lokasi,
yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Nanggro Aceh Darussalam, dan Kalimantan Selatan. - Pelayanan dukungan di bidang
kesehatan (seperti Puskesmas Santun Lansia dan Pengobatan Gratis/Kartu
Gakin/JKM), ketenagakerjaan (penyiapan Pra Lansia memasuki lanjut usia),
dan transportasi (reduksi tiket bagi lanjut usia).
Referensi
Bovaird, Tonny dan Elke
Loffler (2003), Public
Management and Governance, London: Routledge
Depsos (2003), Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial,
Jakarta: Depsos RI
Depsos (2008), Kebijakan dan Program Pelayanan dan Perlindungan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Jakarta: 2008
Mauro, Paul (1998),
“Corruption: Causes, Consequences, and Agenda for Further Research” dalam Finance & Development, A
Quarterly Publication of IMF and the World Bank, March, hal. 12
Suara Pembaruan (2008),
“Permasalahan Anak Seperti Gunung Es”, Koran
Suara Pembaruan, edisi 23 Juli
Suharto, Edi (2007),
“Roles of Social Workers in Indonesia: Issues and Challenges in Rehabilitation
for Persons with Disability”, makalah yang disajikan pada The Third Country Training on Vocational
Rehabilitation for Persons with Disabilities, National Vocational
Rehabilitation Centre (NVRC) Cibinong, Bogor-Indonesia, 14 Agustus
Suharto, Edi (2008a), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik,
Bandung: Alfabeta (Cetakan Kedua)
Suharto, Edi (2008b), Analisis Kebijakan Publik,
Bandung: Alfabeta (Cetakan keempat)
Suharto, Edi (2008c),
“Trend Lansia dan Pelayanan Sosial yang Harus Disediakan: Perspektif Pekerjaan
Sosial” , makalah yang disajikan pada Lokakarya Kelanjut
Usiaan dan Pelayanan Sosial Modern, Depsos RI, Bogor 23
Maret
UNDESA (United Nations
Department of Economic and Social Affairs) (2000), Profesionalism and Ethics in the Public service: Issues
and Practices in selected Regions, New York: UNDESA
Wikipedia (2008), Pelayanan Publik, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik (diakses 6 Oktober)
0 comments:
Post a Comment