Alkisah, pada zaman dahulu kala ada
seorang saudagar kaya raya. Konon, dia memiliki hubungan sangat erat dalam
struktur pemerintahan Sultan Haji, anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Berkat
keeratan hubungan tersebut membuat Sang Saudagar berhasil mendapatkan hak
khusus berupa monopoli dalam perdagangan beras dan lada dari daerah Lampung.
Kekayaan Sang Saudagar dari hasil
monopoli beras dan lada digunakan untuk memperluas usahanya dengan cara membeli
tanah pertanian milik warga dengan harga yang sangat rendah. Adapun caranya
adalah dengan memberi pinjaman uang kepada para petani dengan bunga yang
relatif tinggi. Apabila setelah jatuh tempo tidak dapat melunasi pinjaman, maka
Sang Saudagar memaksa untuk membeli tanah milik petani yang berhutang dengah
harga yang sangat rendah. Biasanya, karena terdesak sekaligus takut pada para
"debt collector" merangkap tukang pukul upahan Sang Saudagar, para
petani terpaksa menyerahkan tanahnya walau harus merugi.
Agar lebih berkuasa di daerahnya
sendiri, Sang Saudagar berhasil menjadi kepala desa di tempat tinggalnya.
Sewaktu bursa pencalonan kepala desa dilakukan, Sang Saudagar berbuat
kecurangan dengan menerjunkan para tukang pukulnya untuk mengintimidasi warga masyarakat
sehingga tidak ada seorang pun yang berani mencalonkan diri sebagai kepala
desa. Walhasil, ketika proses pemilihan berlangsung, hanya Sang Saudagarlah
yang muncul menjadi calon tunggal penguasa desa.
Selama menjabat sebagai kelapa desa
Sang Saudagar memanfaatkan kekuasaannya untuk memungut pajak secara berlebihan.
Hasil pajak hanya sebagian kecil saja diserahkan pada Sultan Haji, selebihnya
dia gunakan untuk menumpuk kekayaan dengan membeli hampir seluruh tanah
pertanian milik warga desanya. Apabila ada yang membangkang dengan tidak mau
menjual tanah, maka orang itu akan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh
para tukang pukul Sang Saudagar.
Selain memiliki sifat licik, tamak,
dan sewenang-wenang, Sang Saudagar juga dikenal sebagai seorang yang sangat
kikir. Ia tidak mau mengeluarkan sepeser pun uang guna membantu warga desa,
walau untuk keperluan desanya. Bahkan, saking pelitnya Sang Saudagar yang
umurnya sudah kepala empat tidak juga mau menikah serta memiliki anak karena
dianggap hanya sebagai suatu pemborosan saja.
Cerita mengenai perangai buruk Sang
Saudagar rupanya telah tersebar hingga ke mana-mana. Tetapi orang-orang yang
mendengarnya hanya dapat mengelus dada karena tidak ada yang berani melawannya
hingga suatu hari ada seorang pengelana sakti mandraguna datang ke desa. Sang
Pengelana sakti yang mendengar obrolan warga masyarakat tentang perangai Sang
Saudagar, secara spontan berniat membeli pelajaran sekaligus menyadarkannya.
Adapun cara yang dilakukannya adalah
dengan menyamar menjadi seorang pengemis. Setelah berpakaian layaknya seorang
pengemis, dengan langkah dibuat layaknya orang pincang Sang Pengelana sakti
mendatangi kediaman Sang Saudagar. Di sana dia meminta belas kasihan Sang
Saudagar agar memberinya sedikit uang untuk membeli makanan pengganjal perut
dan sebagai modal usaha kecil-kecilan.
"Hei pengemis pincang, memangnya
aku ini bapakmu! Apa kau kira hartaku turun dari langit? Pergi sana dan jangan
ganggu lagi!" hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh Sang pengemis
hingga jatuh tersungkur di tanah.
"Ternyata memang benar kata
orang, engkau ini seorang yang tamak dan kikir. Mulai sekarang engkau harus
merasakan lapar dan penderitaan seorang pengemis!" kata Si "pengemis
pincang" sambil berlalu pergi.
Sang Saudagar yang telah sering
menemui peminta-minta di rumahnya menganggap ancaman Si pengemis pincang
hanyalah sebagai luapan kekesalan karena tidak diberi uang. Oleh karena itu,
dia segera masuk kembali ke dalam rumah dan seakan telah melupakan pertemuannya
dengan Si Pengemis Pincang. Dia tetap melakukan aktivitas sebagaimana biasanya,
yaitu menghitung pundi-pundi uang dari hasil upeti serta monopoli perdagangan
beras dan lada hingga larut malam.
Tetapi keesokan harinya, ketika
bangun dari tidur secara tiba-tiba Sang Saudagar tidak dapat menggerakkan kedua
kakinya. Dia pun panik dan berteriak-teriak histeris memanggil pengawal
pribadinya. Beberapa pengawal yang datang ke kamar tidurnya segera memberika
pertolongan berupa pijatan pada bagian paha dan kaki, namun tidak juga ada perubahan.
Sang Saudagar telah menderita kelumpuhan tanpa sebab yang jelas.
Agar penyakitnya sembuh, Sang
Saudagar memerintahkan pengawalnya mencari tabib-tabib sakti yang biasa
mengobati kelumpuhan. Namun, segala usaha yang dilakukan oleh para tabib hanyalah
sia-sia belaka karena kelumpuhan Sang Saudagar seakan telah permanen dan tidak
dapat disembuhkan lagi. Sang Saudagar akhirnya putus asa dan memerintahkan
pengawal pribadinya membuat sayembara. Isi sayembara adalah: "Barang siapa
yang dapat menyembuhkan kelumpuhan Sang Saudagar, maka dia akan mendapat
setengah dari harta kekayaannya."
Mendengar sayembara tersebut, Sang
Pengemis Pincang yang belum meninggalkan desa mendatangi lagi kediaman Sang
Saudagar. Sesampainya di hadapan Sang Saudagar dia berkata,"Kelumpuhan
yang kau alami adalah akibat dari sifat kikir dan sombongmu. Apabila ingin
sembuh seperti sediakala ada tiga hal yang harus dilaksanakan. Apakah engkau
bersedia melakukannya?"
"Aku akan melakukan apapun agar
dapat berjalan lagi," jawab Sang Saudagar putus asa.
"Baiklah. Hal pertama yang harus
kau lakukan adalah menghilangkan sifat sombong, kikir, dan semena-menamu.
Selanjutnya, carilah sebuah batu kuwung (batu cekung) di daerah Gunung Karang.
Bila telah ketemu, bertapalah selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan
minum. Apa pun yang terjadi, jangan sampai engkau membatalkan tapamu itu. Dan
terakhir, bila lumpuhmu sembuh, kau harus menepati janjimu untuk memberikan
setengah dari kekayaanmu kepada orang-orang miskin di sekitarmu," kata
Sang Pengemis Pincang.
Setelah berkata demikian, dalam
sekejap mata Sang Pengemis Pincang tiba-tiba raib dari pandangan. Hal ini
membuat Sang Saudagar kaget bukan kepalang. Dia akhirnya sadar kalau sang
pengemis sejatinya adalah seorang sakti yang hendak menyadarkannya. Oleh karena
itu, dia lalu memerintahkan para pengawalnya membuat sebuah tandu untuk
menggotongnya ke Gunung Karang.
Setelah tandu selesai dibuat,
keesokan harinya Sang Saudagar bersama dua orang pengawalnya mulai melakukan
perjalan menuju Gunung Karang. Namun, karena jalur yang ditempuh masih berupa
jalan setapak berliku yang dikelilingi oleh semak beluar dan pepohonan rindang,
maka setelah berhari-hari kemudian barulah mereka sampai di sebuah batuan
kuwung (cekung) dekat dengan kaki Gunung Karang.
Ketika beberapa puluh langkah lagi
mencapai batu kuwung, tiba-tiba kedua pengawal jatuh pingsan karena kelehanan
setelah menempuh perjalanan selama berhari-hari tanpa istirahat. Oleh karena
itu, Sang Saudagar terpaksa bersusah payah menyerat tubuhnya dengan hanya
menggunakan tangan hingga mencapai batu kuwung. Di tempat itu dia langsung
bersemedi selama tujuh hari tujuh malam dan berhasil melalui berbagai macam
rintangan dan godaan, seperti dikelilingi oleh binatang buas dan
makhluk-makhluk halus penunggu gunung.
Pada akhir pertapaannya, terjadilah
suatu keajaiban berupa semburan mata air panas di pusat batu kuwung. Saat Sang
Saudagar mengambil air tersebut untuk minum dan membasuh diri karena selama beberapa
hari tidak menyentuh air, tiba-tiba terjadi suatu keajaiban lagi. Air yang
dipakainya untuk membasahi kedua kaki ternyata dapat menyembuhkan
kelumpuhannya. Sang Saudagar akhirnya dapat berjalan kembali.
Singkat cerita, dia pun kembali ke
rumahnya. Sesampainya di rumah, sesuai dengan janjinya, Sang Saudagar
membagikan separuh dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar
tempat tinggalnya. Selain itu, apabila ada orang yang datang ke rumahnya, akan
selalu diberi uang atau makanan sehingga akhirnya dia dikenal sebagai saudagar
yang dermawan.
Apabila ada orang yang bertanya
mengapa dirinya berubah drastis dari kikir jadi dermawan, maka dijawab bahwa
itu adalah berkat penyesalannya selama ini serta khasiat dari air batu kuwung
yang menyembuhkan kelumpuhannya. Lama-kelamaan tersebarlah cerita mengenai air
di batu kuwung. Akibatnya, banyak orang yang tertarik mendatanginya dengan
tujuan agar dapat sembuh dari berbagai macam penyakit, seperti yang diderita
oleh Sang Saudagar.
Sekarang Batu Kuwung telah menjadi
sebuah obyek wisata air panas yang berlokasi di wilayah Kecamatan Padarincang,
Serang, Banten. Obyek wisata yang belum secara profesional dikelola oleh
pemerintah ini masih dipercaya oleh masyarakat sekitar dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit.
Daearah padarincang bisa di tempuh
dari palima atau dari arah Anyer, tergantung mau kemana arah refresing atau
liburan kita
0 comments:
Post a Comment